Selasa, 28 April 2020

Cerbung part 2



Hari Sabtu Bersamamu 2
Febi Intan T

Hitam Putih

Sabtu jadi lebih menyenangkan bersamanya. Kekosongan dan kepenatan seolah luruh saat tangannya menggenggam jemariku di bawah langit yang biru dan hijaunya dedaunan. Walau hanya dua jam saja.

Dia lebih banyak mendengarkanku bicara, tanpa menyela. Membuatku tertawa dengan setiap candanya. Andai bisa aku ingin waktu ini terhenti saat kami bersama.

***

Rumah telah bersih, tak ada mainan yang tergeletak di setiap ruangan seperti siang tadi. Cucian telah terpajang cantik di raknya, jemuran pun terlipat rapi di keranjang untuk  kusetrika esok hari.

Azan Magrib berkumandang, saatnya mengajak anak-anak salat bersama lalu mengajari mereka mengaji.

“Kak Danu, Nai, kita salat sama-sama, yuk!” ajakku pada mereka yang sedang asyik menonton kartun.

Danu dan Nai bersorak senang. “Nai au udu,” ujar gadis berponi itu.

Kami pun menuju kamar mandi untuk berwudu, kemudian salat Magrib bersama.

Ada ganjalan di dadaku setiap kali dahi ini menyentuh sajadah yang terbentang. Rasa malu dan bersalah menggelayut dalam hati juga pikiranku.

Aku tahu ini salah, tapi sekuat aku menghindarinya, sekuat itu pula rasa ini datang lebih besar. Apakah aku sudah benar-benar jatuh cinta pada pria itu? Maafkan hamba-Mu ini, ya, Allah.

“Mah—naik uda.” Naila yang mencoba naik ke punggung menyadarkanku untuk bangkit dari sujud. Perlahan aku bangkit agar tak membuat gadis kecil itu terjatuh.

Setelah selesai salat dan menemani mereka mengaji, aku mengambilkan makan malam dan menyuapi mereka.

“Mah. Papah, kok, gak pulang-pulang, sih?” Danu bertanya padaku sembari mengunyah makanannya.

“papah, kan kerja, Sayang.”

Kulihat jarum panjang pada jam dinding menunjuk di angka tujuh. Waktu kerja Mas Tomo memang hanya sampai jam lima sore, tapi biasanya bila tak berkumpul dengan teman-temannya, ia akan terlambat pulang karena mampir dulu ke rumah orang tuanya. Namun, ia tak mengirimiku kabar, seperti biasa. Suamiku akan menjelaskan alasan keterlambatannya pada saat pulang ke rumah, menanyakan lewat WA atau telepon pun percuma, dia tak pernah mengangkat atau membaca pesanku.

Gawai di meja berbunyi, pesan dari seseorang yang bernomor belakang 852. [P].

Segera kubalas pesannya. [Ya?].
Dialah pemilik rindu di hari-hariku, dia pulalah penyebab aku merasa malu untuk menangisi rasa bersalahku. Ah, tidak. Kenapa aku harus mengkambing hitamkan orang lain atas ketidakmampuan mengendalikan perasaanku sendiri.

Aku memintanya untuk tak mengirimi pesan apapun kecuali hurup “P” sebelum aku membalasnya.

“Mah, antuk!” Terdengar suara Naila memanggil, kulihat matanya sudah sayu dan beberapa kali menguap.

“Naila udah ngantuk, ya? Bobo, yuk!” Pandanganku beralih pada anak lelaki yang masih asyik menonton televisi. “Danu masih mau makan? Sedikit lagi, nih!”

Dia menggeleng tanpa menoleh. “Kenyang, Mah!”

“Minum kalau udah makannya! Mamah mau boboin Naila dulu, ya.”

Tak ada jawaban dari anak sulungku. Aku kemudian menggendong Naila menuju kamar, memilih satu buku cerita untuk dibacakan pada gadis kecil itu sebelum tertidur pulas.

Aku teringat WA dari Rian, Handphone kugeletakkan begitu saja di meja saat Naila memanggil tadi. Aku mengecup kening Naila yang sudah memejamkan mata, kemudian meninggalkannya.

Kulihat sudah ada tiga pesan dari Rian.

[lagi ngapain, Fa? Aku ganggu, gak?]

[Aku kangen sama kamu]

[Kita ketemu lagi, ya, Sabtu depan!]

Jariku menari di atas layar benda persegi panjang yang kupegang, mengetik balasan untuknya. [Ya, kita ketemu lagi nanti di tempat biasa. Terima kasih udah nemenin aku tadi.]

Manik mataku melirik ke arah di mana anak lelakiku berada, ternyata Danu sudah tertidur di sana. Gawai kuletakkan di saku daster. Lebih baik lauk pauk aku hangatkan, mungkin suamiku ketika pulang ingin makan.

***

Kukerjapkan mata beberapa kali, aku tertidur di kamar Danu setelah selesai mencuci wajan bekas memanaskan masakan, kemudian memindahkan si sulung yang tertidur pulas di ruang televisi.

Aku terbangun saat mendengar pintu terketuk, sepertinya itu Mas Tomo. Segera aku menuju di mana suara itu berasal, memutar kunci sambil menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.

“Belum tidur?” tanyanya saat melihatku.

“Kebangun.” Aku mencium punggung tangan lelaki itu lalu menutup pintu kembali. “Mau makan?”

“Udah. Tadi Ibu nyuruh ke rumah sepulang kerja, beliau nyuruh bawain ini buat kamu.” Dia menyerahkan rantang makanan padaku. "Aku ketiduran di sana," jelasnya.

“Kamu sendiri udah makan?” tambahnya

Aku menggeleng di belakangnya yang tentu saja tak bisa ia lihat.

“Aku ganti baju dulu, ya, terus tidur. Ngantuk.” Lelaki itu menoleh sesaat lalu berlalu pergi.

Hmmm, aku membuang napas kasar menatap punggungnya yang semakin menjauh dari pandangan. Baiklah, lebih baik aku menyusulnya tidur setelah menyimpan rantang ini di kulkas.

***

[Assalamu’alaikum, Mba] nomor tak kukenal mengirimiku pesan lewat WA. Penasaran, kulihat foto profilnya. Seorang wanita muda berparas cantik mengenakan jilbab berwarna biru muda, tapi siapa dia? Aku tak mengenal wajahnya.

[Wa’alaikumsalam. Siapa, ya? Ada apa?] Kusentuh layar untuk mengirim pesan itu padanya.

[Aku keluarga dari Rian, bisa ketemu pagi ini?]

Dahiku mengerut membaca pesannya. Keluarga? Untuk apa keluarga Rian menghubungiku? Jangan-jangan ada apa-apa dengannya, tapi tahu dari siapa wanita ini nomor whatsappku. Mungkinkah pria itu menceritakan tentang kami kepada keluarganya? Tiba-tiba saja rasa cemas juga takut menyergap pikiranku.

#FB 18 Sept 2019

~~~Bersambung~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar