Minggu, 03 Mei 2020

Cerbung part 3



Hari Sabtu Bersamamu
By. Febi Intan T


Sesakit inikah Cinta?

Dahiku mengerut membaca pesannya. Keluarga? Untuk apa keluarga Rian menghubungiku? Jangan-jangan ada apa-apa dengannya, tapi tahu dari siapa wanita ini nomor whatsappku. Mungkinkah pria itu menceritakan tentang kami kepada keluarganya? Tiba-tiba saja rasa cemas juga takut menghampiri.

“Mah, kok, ngelamun?” Suara Mas Tomo yang baru selesai mandi mengejutkanku, HP yang ada dalam genggaman hampir terlepas jika aku tak cepat memegang benda itu dengan erat. “Ada pesan dari sapa?”

“Emm, i—ini, ada temen ngajak main,” kataku sedikit tergagap. “Mas, hari ini mau mancing lagi?”

Hari Minggu siang biasanya Mas Tomo akan pergi memancing bersama teman-temannya, pulang sore hari dengan membawa ikan, hasil tangkapan.

“Mungkin.” Lelaki itu mengeringkan rambut pendeknya dengan handuk sambil berlalu.

Aku kembali melihat layar pipih di tangan. Mengetik beberapa kalimat jawaban untuk pesan dari seseorang yang mengaku keluarga Rian. [Gak tau bisa gak, nanti aku hubungin lagi.]

Pikiran menjadi sedikit tak tenang, mengerjakan pekerjaan rumah pun jadi kurang fokus. Sesekali mataku melirik pada benda pipih yang tergeletak di meja dapur.

Apa aku minta tolong adikku saja, ya, si Linda untuk jaga anak-anak nanti? Bagaimana dengan Mas Tomo? Ah, nanti mungkin dia juga akan keluar.

“Mah, abis sarapan, aku mau ke ibu. Siangnya langsung mancing sama teman-teman di sana.” Tangan Mas Tomo menggamit gorengan tempe yang sudah kutiriskan. “Nyusul, ya ke sana! Bantu Ibu beres-beres. Reta paling minggu gini main, kasian ibu.”

Aku mengangguk pelan sambil menata meja makan. Aku tak keberatan tiap minggu ke rumah ibu mertua untuk membantu beliau, tapi sedikit kesal dengan tingkah adik ipar yang sudah remaja tak juga mengerti dengan pekerjaan rumah.

***

Kendaraan bermotor berlalu lalang di bawah sana, aku sudah menunggu kedatangan wanita yang mengaku keluarga Rian di sebuah resto. Embusan angin sesekali menerpa rambut sebahu yang kugerai, sejuk terasa di atas sini.

“Halo, Mbak—“

Aku menoleh sosok wanita bersuara lembut yang sudah ada di sampingku. Sesaat terpana dengan senyum ramah juga kecantikan berbalut jilbab panjang yang dikenakannya.

Dia menyalamiku, lalu duduk dengan anggun di sebuah kursi yang ada di depanku. “Maaf mengganggu, ya, Mbak,” katanya sambil tersenyum tipis.

Aku menggeleng lemah. “Emmm, maaf, Mbak ini siapanya Rian?” Aku tak mampu lagi menutupi rasa penasaran yang memenuhi otak.

“Saya Risti, Mbak. Istri Rian.” Wajahnya begitu tenang, tak ada riak apa pun yang bisa kutangkap di sana.

Ada getar yang menjalar dalam dada, membuat tubuhku menjadi panas-dingin dibuatnya. Kenapa Rian berbohong? Jari-jemari meremas ujung kemeja yang kupakai.

“Maaf,” bisikku menunduk. Wanita ini pastilah menyimpan amarah kepadaku, bagaimana tidak? Dia kini berhadapan dengan wanita yang suka jalan berdua bersama laki-laki yang masih suaminya.

“Ya, saya tau Rian setiap Sabtu suka bertemu dengan, Mbak.” Ada getar dalam kata-katanya yang coba ia sembunyikan. “Saya gak pengen nyalahin Mbak atau Rian, walaupun perbuatan kalian memang salah.” Dia terdiam, seperti sedang mengendalikan sesuatu di hatinya.

Aku tak mampu menatap mata wanita di hadapanku, takut bercampur malu. Tenggorokanku rasanya tercekat, dada terasa sesak.

“Ini bukan pertama kali Rian lakukan,” gumamnya tertunduk.

Mataku membulat mendengar penuturannya. Aneh bagiku, pria lembut dan perhatian seperti Rian punya sifat seperti itu. Ah, lalu bagaimana denganku, tak ada yang beda bukan?

“Setahun yang lalu—“ Terdengar darinya menelan saliva dengan berat, lalu menghela napas panjang. “Setahun yang lalu dokter memvonis dia gak akan bisa punya anak.”

Aku tercengang mendengarnya, napasku seakan ingin berhenti. Lalu apa alasannya sampai berani menduakan wanita yang menurutku penyabar ini.

“Ini, salahku—“ Matanya tiba-tiba meneteskan bulir bening yang cepat-cepat dihapusnya. “Mendengar berita seperti itu, aku merasa sedih dan lebih banyak berdiam diri di kamar.”

“Padahal Rianlah yang paling menderita di sini. Harusnya aku ada untuk menghiburnya, tapi aku seolah menjadi orang yang paling menderita.” Bahunya kini terguncang, tak bisa lagi ia menahan isak.

Aku menggenggam tangan halus wanita di hadapanku, ingin memberinya kekuatan. Namun, pantaskah aku?

“Aku tau, dia melakukan ini hanya karena ingin aku meminta cerai darinya. Aku tau betul sifatnya.”

Kali ini dia menatap mataku, sendu. Membalas genggaman tanganku, meremasnya kuat. “Aku mohon, maafkan Rian. Lepaskan dia, Mbak. Izinkan aku memperbaiki hubungan kami.”

Tidak ini salah, harusnya aku yang memohon maaf padanya. Ah, dia sungguh membuatku merasa semakin rendah dan tak berharga.

“Akulah yang salah, sekali lagi maafkan aku,” wajahku menunduk, sesekali mengerjapkan mata agar tak ada bulir bening yang meluncur dari sudutnya.

“Terima kasih, Mbak. Aku doakan semoga Mbak menemukan jodoh yang baik.” Ia tersenyum sebelum akhirnya berpamitan dan meninggalkan aku dengan air mata yang mengalir deras. Menemukan jodoh yang baik? Ah, sungguh kata-katanya membuatku merasa seperti seonggok sampah.

Terdengar langkah kaki mendekat menghampiri, cepat-cepat kuhapus air mata ini. Sesosok pria menyandarkan tubuhnya pada teralis balkon.

Rian? Bagaimana bisa dia di sini? Ia kemudian menyalakan sebatang rokok dan membiarkan asapnya mengepul menari-nari di udara kemudian menghilang begitu saja.

“Maaf,” lirihnya tanpa menoleh.

Haruskah aku marah pada pria ini, bila pada kenyataannya aku juga bersalah.

Hening

Dia masih mengisap rokok di tangannya dan kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Dia wanita yang baik, istri yang baik," ujarku pada akhirnya.

"Ya, dan dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku." Dia tersenyum menoleh ke arahku. Aku tahu ada sakit yang ia coba sembunyikan. "Aku sungguh senang bisa kenal dengan wanita sepertimu."

Aku tersenyum sinis. "Sampah sepertiku memang gak layak untuk dicintai."

"Kamu wanita yang baik, hanya butuh perhatian dan teman bicara."

"Sudahlah! Kita akhiri sampai di sini." Aku beranjak pergi meninggalkannya, meninggalkan cinta yang salah. Seharusnya aku mampu mengendalikan perasaanku hingga tak jadi seperti ini.

~~~~ Bersambung ~~~~

Selasa, 28 April 2020

Cerbung part 2



Hari Sabtu Bersamamu 2
Febi Intan T

Hitam Putih

Sabtu jadi lebih menyenangkan bersamanya. Kekosongan dan kepenatan seolah luruh saat tangannya menggenggam jemariku di bawah langit yang biru dan hijaunya dedaunan. Walau hanya dua jam saja.

Dia lebih banyak mendengarkanku bicara, tanpa menyela. Membuatku tertawa dengan setiap candanya. Andai bisa aku ingin waktu ini terhenti saat kami bersama.

***

Rumah telah bersih, tak ada mainan yang tergeletak di setiap ruangan seperti siang tadi. Cucian telah terpajang cantik di raknya, jemuran pun terlipat rapi di keranjang untuk  kusetrika esok hari.

Azan Magrib berkumandang, saatnya mengajak anak-anak salat bersama lalu mengajari mereka mengaji.

“Kak Danu, Nai, kita salat sama-sama, yuk!” ajakku pada mereka yang sedang asyik menonton kartun.

Danu dan Nai bersorak senang. “Nai au udu,” ujar gadis berponi itu.

Kami pun menuju kamar mandi untuk berwudu, kemudian salat Magrib bersama.

Ada ganjalan di dadaku setiap kali dahi ini menyentuh sajadah yang terbentang. Rasa malu dan bersalah menggelayut dalam hati juga pikiranku.

Aku tahu ini salah, tapi sekuat aku menghindarinya, sekuat itu pula rasa ini datang lebih besar. Apakah aku sudah benar-benar jatuh cinta pada pria itu? Maafkan hamba-Mu ini, ya, Allah.

“Mah—naik uda.” Naila yang mencoba naik ke punggung menyadarkanku untuk bangkit dari sujud. Perlahan aku bangkit agar tak membuat gadis kecil itu terjatuh.

Setelah selesai salat dan menemani mereka mengaji, aku mengambilkan makan malam dan menyuapi mereka.

“Mah. Papah, kok, gak pulang-pulang, sih?” Danu bertanya padaku sembari mengunyah makanannya.

“papah, kan kerja, Sayang.”

Kulihat jarum panjang pada jam dinding menunjuk di angka tujuh. Waktu kerja Mas Tomo memang hanya sampai jam lima sore, tapi biasanya bila tak berkumpul dengan teman-temannya, ia akan terlambat pulang karena mampir dulu ke rumah orang tuanya. Namun, ia tak mengirimiku kabar, seperti biasa. Suamiku akan menjelaskan alasan keterlambatannya pada saat pulang ke rumah, menanyakan lewat WA atau telepon pun percuma, dia tak pernah mengangkat atau membaca pesanku.

Gawai di meja berbunyi, pesan dari seseorang yang bernomor belakang 852. [P].

Segera kubalas pesannya. [Ya?].
Dialah pemilik rindu di hari-hariku, dia pulalah penyebab aku merasa malu untuk menangisi rasa bersalahku. Ah, tidak. Kenapa aku harus mengkambing hitamkan orang lain atas ketidakmampuan mengendalikan perasaanku sendiri.

Aku memintanya untuk tak mengirimi pesan apapun kecuali hurup “P” sebelum aku membalasnya.

“Mah, antuk!” Terdengar suara Naila memanggil, kulihat matanya sudah sayu dan beberapa kali menguap.

“Naila udah ngantuk, ya? Bobo, yuk!” Pandanganku beralih pada anak lelaki yang masih asyik menonton televisi. “Danu masih mau makan? Sedikit lagi, nih!”

Dia menggeleng tanpa menoleh. “Kenyang, Mah!”

“Minum kalau udah makannya! Mamah mau boboin Naila dulu, ya.”

Tak ada jawaban dari anak sulungku. Aku kemudian menggendong Naila menuju kamar, memilih satu buku cerita untuk dibacakan pada gadis kecil itu sebelum tertidur pulas.

Aku teringat WA dari Rian, Handphone kugeletakkan begitu saja di meja saat Naila memanggil tadi. Aku mengecup kening Naila yang sudah memejamkan mata, kemudian meninggalkannya.

Kulihat sudah ada tiga pesan dari Rian.

[lagi ngapain, Fa? Aku ganggu, gak?]

[Aku kangen sama kamu]

[Kita ketemu lagi, ya, Sabtu depan!]

Jariku menari di atas layar benda persegi panjang yang kupegang, mengetik balasan untuknya. [Ya, kita ketemu lagi nanti di tempat biasa. Terima kasih udah nemenin aku tadi.]

Manik mataku melirik ke arah di mana anak lelakiku berada, ternyata Danu sudah tertidur di sana. Gawai kuletakkan di saku daster. Lebih baik lauk pauk aku hangatkan, mungkin suamiku ketika pulang ingin makan.

***

Kukerjapkan mata beberapa kali, aku tertidur di kamar Danu setelah selesai mencuci wajan bekas memanaskan masakan, kemudian memindahkan si sulung yang tertidur pulas di ruang televisi.

Aku terbangun saat mendengar pintu terketuk, sepertinya itu Mas Tomo. Segera aku menuju di mana suara itu berasal, memutar kunci sambil menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.

“Belum tidur?” tanyanya saat melihatku.

“Kebangun.” Aku mencium punggung tangan lelaki itu lalu menutup pintu kembali. “Mau makan?”

“Udah. Tadi Ibu nyuruh ke rumah sepulang kerja, beliau nyuruh bawain ini buat kamu.” Dia menyerahkan rantang makanan padaku. "Aku ketiduran di sana," jelasnya.

“Kamu sendiri udah makan?” tambahnya

Aku menggeleng di belakangnya yang tentu saja tak bisa ia lihat.

“Aku ganti baju dulu, ya, terus tidur. Ngantuk.” Lelaki itu menoleh sesaat lalu berlalu pergi.

Hmmm, aku membuang napas kasar menatap punggungnya yang semakin menjauh dari pandangan. Baiklah, lebih baik aku menyusulnya tidur setelah menyimpan rantang ini di kulkas.

***

[Assalamu’alaikum, Mba] nomor tak kukenal mengirimiku pesan lewat WA. Penasaran, kulihat foto profilnya. Seorang wanita muda berparas cantik mengenakan jilbab berwarna biru muda, tapi siapa dia? Aku tak mengenal wajahnya.

[Wa’alaikumsalam. Siapa, ya? Ada apa?] Kusentuh layar untuk mengirim pesan itu padanya.

[Aku keluarga dari Rian, bisa ketemu pagi ini?]

Dahiku mengerut membaca pesannya. Keluarga? Untuk apa keluarga Rian menghubungiku? Jangan-jangan ada apa-apa dengannya, tapi tahu dari siapa wanita ini nomor whatsappku. Mungkinkah pria itu menceritakan tentang kami kepada keluarganya? Tiba-tiba saja rasa cemas juga takut menyergap pikiranku.

#FB 18 Sept 2019

~~~Bersambung~~~

Senin, 27 April 2020

Cerbung part 1




Hari Sabtu Bersamamu
By. Febi Intan T


Terlarang


Benda bundar yang menggantung di dinding mengarah pada angka enam, lauk pauk dan nasi hangat telah terhidang di meja makan. Terdengar dari kamar mandi guyuran air yang bersentuhan dengan lantai.

“Pah, mau buat kopi?” kataku setengah berteriak di depan pintu toilet.

“Gak usah!”

Setelah mendengar jawaban dari suami, aku melangkah ke kamar anak sulungku. Membangunkannya untuk segera bersiap berangkat sekolah.

“Danu—“ Kuciumi pipi yang menggemaskan itu. Dia menggeliat dengan mata yang masih terpejam. “Bangun, Sayang! Hayu, sekolah.”

“Emmh, masih ngantuk, Mah,” gumamnya.

“Udah, biarin, Mah. Masih jam enam lebih dikit ini,” Suamiku yang masih mengenakan handuk berhenti sejenak lalu melangkah kembali menuju kamar kami untuk berpakaian.

Aku meninggalkan Danu yang masih memeluk guling kesayangannya. Membuka kran mesin cuci, membiarkannya penuh untuk kemudian menggiling pakaian kotor yang sudah menumpuk di keranjang. Yah, beginilah keseharianku. Bangun paling awal, menyiapkan sarapan lalu membereskan segala hal yang menyangkut pekerjaan rumah.

Lelah? Sedikit, tapi lebih condong dengan kata bosan. Seluruh waktu yang kuhabiskan selama dua puluh empat jam hanyalah bergerumul dengan tiap sudut ruang.

Dulu, aku membunuh kata penat dengan cara merajut. Kadang menyulap gulungan benang itu menjadi taplak meja, syal dan juga sweater untuk si bungsu. Namun, suamiku bilang untuk membeli perlengkapannya itu hal yang hanya membuang-buang uang. “Bukannya lebih baik dipakai untuk membeli kebutuhan anak?” Begitu dia bilang. Sayang yang dikatakannya itu benar. Kenapa hobbyku tak dijadikan ladang untuk mencari penghasilan? Aku belum semahir itu, rajutanku belum layak untuk diperdagangkan.

“Mah!” Danu memanggilku dari ruang tengah. “Mah, mandi!” serunyanya lagi.

“Jangan teriak-teriak, Nak! Nanti Naila bangun.” Aku memutar tombol peras pada mesin cuci lalu meninggalkannya.

Danu mengucek-ngucek matanya yang masih terlihat mengantuk. Aku membuka baju anak berusia empat tahun itu, lalu membawanya ke kamar mandi.

“Mah, aku sarapan duluan, ya!” Mas Tomo melongokkan wajahnya ke arah kamar mandi. Aku yang sedang menyabuni Danu mengiyakan tanpa menoleh padanya.

“Mah, andi!” Naila ternyata sudah bangun, melihat aku memandikan kakaknya, Danu, ia ingin ikut dimandikan juga. Setelah mengeringkan tubuh Danu, aku memintanya untuk menunggu di ruang tipi sementara adiknya dimandikan.

Selesai memandikan dan memakaikan pakaian pada keduanya, aku memutar kembali tombol mesin cuci ke kata “cuci” lalu mengucurkan air ke dalamnya. Sembari menunggunya penuh, aku mengambil sarapan untuk kedua anakku lalu menyuapi mereka. Kulihat di luar sudah tak ada motor Mas Tomo, sepertinya dia sudah berangkat kerja.

***

“Bu, aku titip Naila sebentar, ya. Ada janji sama ibu-ibu TK Danu,” ucapku beralasan pada Ibu. Sengaja aku mampir ke rumah orang tuaku setelah mengantarkan Danu ke sekolahnya.

“Lama, gak?” tanya ibu sambil menciumi pipi gadis kecil yang berusia dua tahun di gendonganku.

“Gak, paling lama dua jamlah. Sekalian bubar sekolah.” Aku menurunkan Naila beserta peralatan untuknya yang kutaruh di sofa.

Setelah mencium tangan yang dipenuhi kerutan akibat usia itu, aku mengendarai motor menuju suatu tempat.

Sudah sebulan ini setiap hari Sabtu aku menemuinya. Bertemu seseorang yang membuat debaran aneh di dadaku kembali terasa, seseorang yang membuatku kembali menyadari bahwa aku seorang wanita yang membutuhkan cinta.

Motor kuparkir tepat di depan sebuah restoran. Hawa sejuk langsung menyapa tatkala pintu kaca terbuka, entah karena pendingin ruangannya ataukah karena senyum seorang pria yang menyambutku dengan tatapan hangatnya.

Sudut bibirku ikut tertarik saat pandangan kami bertemu, kakiku perlahan mendekat lalu duduk di hadapannya. “Udah lama,” tanyaku membuka percakapan.

“Engga, tuh kopinya juga masih penuh.” Manik mata kecokelatan itu melirik pada cangkir yang ada di meja. “Udah sarapan?”

Aku menggeleng. Makanan yang kumasak di rumah memang tidak sempat kusantap, karena harus segera mengantarkan Danu.

“Nasi goreng mau?” tawarnya.

“Ya, boleh. Kamu?”

“Aku nyicip punya kamu aja, deh! Tadi aku udah sarapan soalnya.”

“Oh, oke!”

Dia memanggil pelayan, memesan satu porsi nasi goreng hati ayam juga dengan jus tomat kesukaanku.

Namanya, Rian. Dia memang setahun lebih muda dariku. Duda tanpa anak. Kami bertemu tak sengaja saat aku yang membawa Danu dan Naila tengah kerepotan dengan beberapa plastik hasil berbelanja bulanan. Sigap pria ini menolongku membawa kantung belanjaan. Aku dan dia lalu berkenalan sambil menyantap makan siang tak jauh dari mall tempat kami bertemu. Lalu perkenalan itu berlanjut dengan percakapan ringan lewat jejaring sosial.

Seiring waktu, aku mulai nyaman bersamanya. Perasaan rindu datang di antara kami secara sembunyi-sembunyi, hanya aku dan dia yang mengetahuinya.

Sabtu jadi lebih menyenangkan bersamanya. Kekosongan dan kepenatan seolah luruh saat tangannya menggenggam jemariku di bawah langit yang biru dan hijaunya dedaunan. Walau hanya dua jam.


Cerpen #FB 17 Sept. 2019

Bersambung.

Rabu, 22 April 2020

Cerpen


Ayahku Lebay



By. Febi Intan T


"Ayaaah!” 

Suara Ibu berteriak, saat sinar matahari baru saja menguapkan embun yang menggelayut manja di ujung dedaunan dan rumput-rumput di halaman. Ayah yang sedang asyik menyeruput secangkir kopi di hari liburnya, terlonjak kaget mendengar suara berintonasi tinggi.  Dengan tergesa, ia segera menghampiri Ibu yang sedang berada di kamar mandi.

"Ada apa, Bu?"

"Ini, loh, Farhan. Dari tadi susah banget diajak mandi. Udah masuk kamar mandi malah gak mau lepas baju," ujar Ibu kesal.

Wajah Farhan menunduk, takut jika Ayah marah.

"Kenapa, Han? Udah mau siang. Gak malu sama matahari yang udah bersinar terang menerangi bumi?" 

"Lebay, deh, Ayah!" kataku, yang sedari tadi memperhatikan mereka dari pintu dapur, menunggu tempe goreng yang siap dibalik.

Ayah menatap ke arahku. Ia lalu memonyongkan bibir, mengirim cium jauhnya. Bahuku bergidik, menutup wajah dengan piring untuk tempat tempe nanti.

“Farhan gak mau mandi, Yah--” ucap Farhan nyaris tak terdengar dengan pandangan mata yang menunduk.

"Loh, loh. Kenapa?"

Ayah lalu masuk ke kamar mandi menggantikan Ibu, sedang Ibu melanjutkan menjemur sebagian pakaian yang telah dicuci subuh tadi.

"Farhan takut. Tadi malam, saat buang air kecil, Farhan liat kecoak di dekat bak mandi, Yah."

"Apa? Kecoak?" Mata ayah sedikit membulat.

"Lebay!”  seruku, sambil mematikan kompor.

"Mbak!"

Ayah memanggilku yang sedang lewat melintas setelah selesai menggoreng tempe.

"Apa, sih, Yah?” sungutku.

"Adik kamu liat kecoak!” kata Ayah.

“Terus kenapa, Yah? Kita ‘kan emang pelihara kecoak, tikus, cecak juga semut,” candaku.

“Ish, Mbak, nih!” Ayah memajukan bibirnya, merajuk.

"Wah, iya. gawat itu! Kecoaknya nanti gigit burung Farhan yang belum sunat," selorohku menakuti Farhan.

Bibir Farhan mulai melengkung ke bawah, siap mengeluarkan suara tangisnya.

"Stop!" kata Ayah, telunjuknya menyentuh bibir Farhan. "Kamu mau kecoaknya pergi dan gak datang lagi, ‘kan?

Farhan manggut-manggut, matanya menatap mata ayah yang sedang memasang mimik serius di hadapannya.

" Ayo, kita cuci baju Farhan! Bajunya dilepas, Nak! Kecoak suka yang kotor dan bau." Ayah mengambil sebuah ember kecil di pojok pintu kamar mandi. "Mbak, ambilin detergen di dekat mesin cuci!"

"Aku pula." Dengan terpaksa aku mengambil sabun untuk cuci baju yang tak begitu jauh dari tempatku berdiri.

"Nih, Yah!" 

Tanganku menyodorkan sebungkus detergen pada lelaki berkulit sawo matang itu. Ayah ternyata sudah berhasil membuat Farhan mau melepas baju.

Aku lalu meninggalkan mereka untuk melihat acara kesukaanku di televisi.

"Ayo, Yah! Bikin balonnya lebih besar!"

Suara Farhan dan Ayah terdengar sampai ruangan di mana aku sedang menonton acara kuis kesukaan. mereka sepertinya sedang bermain gelembung sabun. Acara mandi yang panjang. Yah, begitulah ayah kami, ada saja idenya untuk membuat anak-anaknya beraktivitas dengan cara yang menyenangkan.

“Sekarang Farhan gak usah takut lagi! Kecoaknya gak akan berani datang,” ujar Ayah sambil menghanduki badan kecil Farhan.

“Bener, Yah? Emang kenapa?” ucap Farhan sedikit tak percaya.

“Tadi, kan kita udah bersihin kamar mandinya, baju kotor Farhan juga dicuci, Farhan sendiri udah wangi.” Ditempelkan Idung Ayah pada lengan Farhan, lalu ia sedikit mendengus. “Kecoak gak akan berani kalau kita bersih begini.”

“Mbak, masih bau tuh, Yah. Belum mandi!” 

Farhan mengarahkan jari telunjuknya kepadaku. Sepasang mata itu mendelik, menatap tajam ke arahku yang sedari tadi mendengar perbincangan mereka, disela jeda iklan di televisi. Aku hanya memamerkan senyum malu-malu.

***

"Ayaaah!"

Aku memanggil ayah dari halaman rumah. Sesaat kemudian ayah keluar menghampiri.

"Kenapa, Mbak?"

"Sepedaku, bannya kempes." Bibirku sengaja di monyongkan.

"Oh, sebentar!"

Ayah masuk kembali ke rumah. Tak berapa lama, ia kembali membawa pompa. Lelaki itu mulai memasukkan selang pompa ke pentil sepeda, lalu mulai memompa rodanya yang kempes.

"Nah, udah. Mbak mau sepedaan ke mana?"

"Gak tau, mau main tapi gak ada teman." Sengaja aku memasang wajah memelas di depan Ayah.

"Farhaaan!" Ayah memanggil anak berusia lima tahun itu.

"Apa, sih, Yah? Teriak-teriak," tanya Ibu yang membawa bungkus belanjaan, ia baru saja kembali dari warung dekat rumah.

"Loh, Farhan yang dipanggil, kok, bidadari yang nyaut?"

"Heleh," ucapku dan Ibu bersamaan.

Akhirnya ayah yang masuk mencari Farhan, Lalu keluar kembali dari arah belakang. Ia  mengendarai sepeda berboncengan dengan anak lelakinya itu.

"Ayo, Mbak! Kita jalan-jalan!."

"Mau ke mana, Yah?" tanya ibu

"Muter keliling kompleks aja, Bu. Ibu masak yang enak, ya! Kita gak lama. Ibu jangan rindu! rindu itu berat. Biar Ayah aja!" Ayah mengedipkan sebelah matanya.

"Heleh. Dasar, dilanda kegombalan!" ujar Ibu sambil melangkah pergi, memasuki rumah.

Kami bertiga mengendarai sepeda, mengayuh roda dua melewati beberapa blok di kompleks perumahan. Setelah kaki terasa pegal, kemudian kami berhenti sejenak di taman untuk istirahat. Ayah, aku dan Farhan duduk di bundaran, di mana terdapat pohon yang rindang. Sesekali embusan angin menerpa tubuh, terasa sejuk menyentuh bulir keringat di kulit.

***

Senja menggelincir, langit berubah menjadi gelap. Pintu dan jendela sudah tertutup rapat sejak magrib tadi. Cahaya alam digantikan oleh sinar lampu yang menerangi tiap sudut ruang. 

Di ruang keluarga, Farhan tengah merengek. Ia bersikukuh tak mau tidur di kamarnya sendiri. Adikku meminta tidur dengan Ayah dan Ibu. Ibu sudah berusaha membujuk anak lelakinya itu, tapi tetap tidak berhasil.

"Kenapa? Biasanya Farhan pinter, mau bobo sendiri," ucap Ibu dengan jemari membelai rambut Farhan di pangkuannya.

"Iya. kenapa, Nak?" Ayah pun ikut bertanya.

"Mbak Ratih cerita, katanya ada hantu di kamar." Bibir anak lelaki itu mengerucut.

Sontak dua pasang mata itu mendelik ke arahku yang sedang berpura-pura membaca buku.

"Gak ada! Hantunya lagi sibuk baca buku," sindir Ibu.

"Emmm, gitu ya? Farhan sama Mbak udah salat Isa belum?" tanya Ayah.

Aku dan Farhan menggeleng bersamaan.

"Pantesan. Yang satu takut, yang satu nakutin," ujarnya, "ayo, wudu terus salat Isa! Hantu takut sama orang yang badannya bersih dan sudah salat.”

Aku dan adikku pun segera melaksanakan apa yang ayah perintahkan. Kami bertiga bersiap untuk salat berjamaah.

"Ibu gak salat?" tanya Farhan,  melihat Ibu asyik nonton sinetron kesayangan ‘Handphone yang Tertukar’.

"Ibu datang bulan," jawab Ibu dengan mata yang fokus pada layar televisi.

"Bulan? Farhan juga mau liat!” katanya antusias.

Dahi Ibu mengerut. Bukan karena faktor usia, tapi karena keinginan anak lelakinya.

"Udah buruan salat sana!"

"Ish, jangan gitu dong, Bu, jelasinnya!" tukas Ayah. "Ibu lagi gak salat, lagi keluar darah kotor jadi dilarang salat, Nak."

"Kasihan Ibu.” Raut wajah adikku mendadak sedih. “Kita bawa ke dokter, Yah!" ajak Farhan menarik tangan ayah.

Aku terkekeh melihat celotehan Farhan yang usianya beda sembilan tahun denganku itu.

"Ish, udah ayo salat!" Ayah menggandeng tangan Farhan menuju kamarnya, aku mengikuti langkah mereka.

***

Kami tidur di kasur Farhan yang cukup untuk bertiga. Ayah mengeloni Farhan yang akan tidur, sedang aku berbaring di samping adikku.

“Malam ini mau baca buku cerita apa?” tanya Ayah.

Farhan bangkit, lalu melangkahkan kaki kecilnya. Ia memilih buku yang berjejer rapi di rak.

“Ini aja, Yah!” Dia mengambil dan menunjukkan buku berwarna hijau dengan judul ‘The Giving Tree’.

Buku dengan gambar sebatang pohon dan seorang anak laki-laki. Buku itu bercerita tentang pohon yang selalu memberi tanpa pernah meminta apa pun sebagai balasan kebaikannya.

***

Setelah membacakan buku cerita, Ayah memintaku membimbing Farhan melafalkan surat-surat pendek dan doa mau tidur. 

"Kalau mau tidur Farhan harus baca doa, biar Allah ngelindungin Farhan. Hantu juga takut sama anak yang gak lupa baca doa. Oke?"

"Oke!" sahut Farhan.

“Yuk, baca doa mau tidur!” Tanganku ditengadahkan ke atas, dengan ekor mata yang sengaja melirik Farhan. Setelah aku yakin lelaki kecil itu mengikuti, barulah kami mulai membaca doa.

Tak lama akhirnya Farhan pun tertidur lelap, Ayah juga ikut tertidur di sampingnya.

Aku tersenyum sendiri menatap wajah Ayah yang dihiasi kumis tipis dan sedikit janggut di wajahnya.

Ayah memang sedikit lebay, tapi karena itu ia menjadi ayah yang menyenangkan di seluruh dunia. Aku sayang Ayah.

03 Agustus 2019

Cerita ini aku persembahkan untuk Bapakku yang selalu ada untuk anak-anaknya dan juga untuk Ayah dari anak-anak kami, Azkhansa. Terima kasih sudah menjadi ayah yang sering menghabiskan waktu untuk bermain dengan mereka setelah seharian lelah mencari nafkah.

Selasa, 07 April 2020





Penulis : Febi Intan T


MENUA BERSAMAMU


Sudah berapa hari ini aku melihat suamiku bersikap tak biasa. Wajah yang telah dihiasi banyak kerutan itu tampak murung, tatapan sendunya selalu tertuju pada pohon mangga di halaman rumah. Sesekali terdengar desahan napas darinya, seolah-olah ada yang tengah ia risaukan. Bahkan kini ia tak pernah lagi mengajakku bicara, seperti menceritakan banyak hal tentang masa lalu atau pun segala macam yang terlintas di pikirannya. Hanya hal-hal penting, seperlunya saja.

Apa ini karena rindu bertemu anak dan cucu? Lagi-lagi ia menyangkal saat kutanyakan hal itu untuk yang kesembilan kalinya. Mungkin memang bukan hal itu yang membuatnya seperti ini, lagi pula rumah anak-anak tak jauh dari sini. Mereka seminggu sekali selalu mengunjungi kami.

Ia tetap murung, duduk melamun berjam-jam memandang pohon mangga yang sudah lama tak berbuah. Lelaki dengan banyak uban itu hanya akan bergeming untuk memenuhi panggilan azan atau saat menyesap teh manis hangat dan gorengan di bale panjang tempat ia menghabiskan waktu.

Pagi ini saat matahari tengah merangkak naik, tatapan sendunya beralih padaku yang sedang menampi beras di teras. Sepertinya kali ini pesona pohon mangga telah berhasil aku kalahkan.

"Bu," panggilan itu terdengar lirih dari mulut yang menampakan gigi tak lagi utuh.

Aku yang memang sedang memandang wajah dengan sisa-sisa kharisma itu hanya menunggu kata-kata selanjutnya. Ia merenung, memandang lurus.

"Bu," ucapnya lagi. Sepertinya kali ini ia telah menemukan barisan kalimat yang tepat untuk diungkapkan. "Apa setelah dibangunkan dari kematian, kita akan bersatu lagi sebagai suami istri?"

"Itu Misteri kan, Pak?"

"Ya, tapi bapak sangat berharap bidadari surgaku itu sampean."

Lihatlah sudah setengah abad lebih usia, tapi rayuannya masih melelehkan seperti saat muda dulu.

"Memang sudah pasti masuk surga apa, Pak?" Aku tersenyum sambil melanjutkan mencari gabah atau kutu beras yang terlihat mata tuaku.

"Semua pasti pengen toh, Bu--" Ia sejenak terdiam, menarik napas lalu melanjutkan kembali ucapannya. "Akhir-akhir ini dadaku kok, ya, sesek tiap ngebayangin gak ada kamu. Seperti pohon mangga itu, berdiri sendiri. Biarlah aku duluan, Bu."

Mendung menggelayut di mata yang tak lagi berbinar itu. Kuletakkan tampi, melupakan kegiatan pagi ini. Meremas tangan yang kulitnya tak lagi kencang milik kakek bercucu empat di sampingku.

"Umur itu rahasia Allah, Pak. Siapa pun yang duluan di antara kita harus tetap kuat dan mendoakan." Aku meletakkan tangannya di pahaku, menepuk-nepuknya lembut. "Yang jelas. menjalani kehidupan dan berakhir dalam pelukan suami macem sampean adalah kebahagiaan buat aku."

Kali ini lelaki yang masih mempesona dalam balutan keriput di kulitnya itu tak bisa lagi menahan air mata. Selama pernikahan, hanya dua kali aku melihatnya menangis. Saat ia menyambut kelahiran anak pertama kami, dan hari ini.


CRBN, 05-02-2020


Senin, 06 April 2020




Penulis : Febi Intan T

RUMAH IMPIANKU


Hampir setengah jam sudah aku meringkuk di sudut kamar, ditemani Air mata yang tak henti membanjiri pipi. Telah kututup rapat pintu serta dua telinga dengan tangan, tapi teriakan-teriakan masih saja jelas terdengar.

Mereka bilang rumahku adalah surgaku. Namun, itu sungguh tak berlaku bagiku. Hawa panas terasa nyata begitu masuk ke dalamnya, percikan sedikit saja langsung menciptakan kobaran yang siap membakar para penghuni. Tak ada sedikit pun ketenangan di sini, kau tak akan pernah menemukannya di rumah ini.

Prank!

Aku menutup daun telinga lebih kuat dari sebelumnya. Kini bukan lagi suara gaduh dari mulut-mulut yang terus saling memaki satu sama lain, tapi benda pecah belah yang terbanting mencium keramik. Entah piring, gelas atau kah cermin.

Beberapa saat setelah itu, terdengar suara bantingan pintu disusul isakan tangis ibu. Seperti biasa. Yah, selalu seperti itu. Ayah akan pergi, dan ibu menangis--meraung layaknya anak kecil.

***

Mata ini perlahan terbuka, terlihat ibu menggenggam tanganku yang telah tertancap jarum inpus. Ia menyeka bulir bening yang menetes di pipinya.

"Kamu gak papa, Nak? Apa yang dirasa?"

Sungguh aku ingin mengatakan pada ibu bahwa aku tak baik-baik saja. Dada ini terasa sangat sesak. Namun, lidah terasa kelu untuk mengatakannya. Apa hal itu yang membuatku berada di sini? Terakhir yang kuingat, aku sedang bersembunyi di kamar ketika mendengar pertengkaran ayah dan ibu. Tak berapa lama, terdengar tangisan yang begitu menyayat dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Saat aku hendak berdiri menghampirinya, tubuhku berguncang hebat lalu semua terasa gelap.

Kepalaku terasa sangat berat, mata ini seolah-olah ingin terpejam lebih lama. Andai saja suara bariton milik ayah tak terdengar saat itu juga, mungkin hati ini berdoa agar lebih baik Tuhan membawaku ke rumah yang baru. Rumah di mana tak ada pertengkaran dan caci maki di dalamnya.

"Dira kenapa, Rat?"

Ibu hanya menangis menjawab pertanyaan lelaki yang baru saja datang. Mataku menangkap sesuatu yang tak pernah dilihat sebelumnya. Ibu menenggelamkan diri dalam dekapan ayah.

"Dira rela sakit lebih lama," lirihku.

Mereka berdua menatapku, lalu keduanya saling beradu pandang. Ada mendung menggelayut di antara keduanya saat bersamaan menggenggam tanganku, erat.

"Maafkan ibu ...."

"Maafkan ayah juga, Nak."

Aku tersenyum lemah melihat mereka saling berangkulan. Sesak di dadaku pun berangsur menghilang. Sungguh aku tak menginginkan apa pun, selain tawa mereka di rumah sederhana yang kami punya.


Crbn, 06022020



Bayangan Kesedihan


Gemercik hujan semakin riuh terdengar seiring rinainya yang turun dengan deras. Aku menikmati suasana ini sambil mendengarkan lagu Adult oleh Sondia di bawah anak tangga menuju kelas.⁣
 ⁣
Embusan angin dan musik yang mengalun lewat headphone seolah-olah memindahkan langit mendung ke dalam mataku dan kemudian hujan turun di dasar hatiku. Sungguh ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, tapi diri ini menikmatinya hingga larut dalam kesedihan yang tercipta begitu saja.⁣

Musik itu terus mengalun berlomba dengan bunyi air hujan yang turun.⁣

Satu persatu bayangan kesedihan itu muncul saat aku memejamkan mata, menikmati aroma hujan dan lirik lagu yang kuhafal.⁣

Bayangan sesosok lelaki bergelar ayah yang telah lama tak ditemui, tapi luka yang diberi tetap setia menggores hati.⁣

Tak berapa lama bayangan itu berganti oleh senyuman seorang wanita yang dipanggil ibu dengan kedua tangan merentang saat menyambutnya pulang. Ia lebih merindukan kejadian seperti itu daripada kehadiran ayah. Lebih tepatnya gadis ini membenci ayahnya, kurasa lelaki itulah penyebab sang ibu kini terpaksa harus pulang larut malam. Mungkin menyeleksi siapa yang lebih tepat untuk menggantikan posisi sang  ayah untuk gadis ini, karena hampir tiap hari wanita itu pulang dengan lelaki yang tak sama. Entahlah.⁣

Sesaat aku menghela napas panjang, membuka kedua mata tepat pada dahan yang menari tersentuh rintik hujan.⁣

Aku mematikan musik di gawai, beralih pada fitur perekam suara.⁣

“Ini hampir sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Langit yang mendung dan hujan turun sangat deras. Aku pun duduk di sini, di tempatmu.” Aku menghela napas, memandang lapangan basket yang sepi dalam guyuran air hujan.⁣

“Aku mengerti kenapa lesung pipimu kini jarang terlihat lagi. Kesepian itu sepenuhnya telah membuatmu menjadi gadis dengan wajah muram. Dan itu sangat jelek, kau tahu itu?” Aku tersenyum kecil pada gawai dalam genggaman.⁣

“Bukankah kau tahu? Saat dalam rahim ibu, kita sendirian. Kelak, saat mati pun kita sendiri. Lalu, untuk apa kau larut dalam kesendirian dan kesepian ini. Kau lebih beruntung daripada aku. Setidaknya kau masih bisa bertengkar dengan ibumu, bisa mencari ayahmu lalu memakinya sepuasmu, dan berusaha tersenyum bercanda dengan teman-temanmu. Sedang aku?” Bibir ini tersenyum miris.⁣

“Kuharap setelah mendengar rekaman ini, kau tak lagi duduk melamun sendiri menatap hujan yang turun.” Aku tersenyum kecil seraya menyimpan rekaman suara.⁣

Dingin seketika menyergap saat perlahan aku meninggalkan raga gadis berlesung pipi ini.⁣



 ⁣
Febi intan T, Crbn 06042020