Selasa, 07 April 2020





Penulis : Febi Intan T


MENUA BERSAMAMU


Sudah berapa hari ini aku melihat suamiku bersikap tak biasa. Wajah yang telah dihiasi banyak kerutan itu tampak murung, tatapan sendunya selalu tertuju pada pohon mangga di halaman rumah. Sesekali terdengar desahan napas darinya, seolah-olah ada yang tengah ia risaukan. Bahkan kini ia tak pernah lagi mengajakku bicara, seperti menceritakan banyak hal tentang masa lalu atau pun segala macam yang terlintas di pikirannya. Hanya hal-hal penting, seperlunya saja.

Apa ini karena rindu bertemu anak dan cucu? Lagi-lagi ia menyangkal saat kutanyakan hal itu untuk yang kesembilan kalinya. Mungkin memang bukan hal itu yang membuatnya seperti ini, lagi pula rumah anak-anak tak jauh dari sini. Mereka seminggu sekali selalu mengunjungi kami.

Ia tetap murung, duduk melamun berjam-jam memandang pohon mangga yang sudah lama tak berbuah. Lelaki dengan banyak uban itu hanya akan bergeming untuk memenuhi panggilan azan atau saat menyesap teh manis hangat dan gorengan di bale panjang tempat ia menghabiskan waktu.

Pagi ini saat matahari tengah merangkak naik, tatapan sendunya beralih padaku yang sedang menampi beras di teras. Sepertinya kali ini pesona pohon mangga telah berhasil aku kalahkan.

"Bu," panggilan itu terdengar lirih dari mulut yang menampakan gigi tak lagi utuh.

Aku yang memang sedang memandang wajah dengan sisa-sisa kharisma itu hanya menunggu kata-kata selanjutnya. Ia merenung, memandang lurus.

"Bu," ucapnya lagi. Sepertinya kali ini ia telah menemukan barisan kalimat yang tepat untuk diungkapkan. "Apa setelah dibangunkan dari kematian, kita akan bersatu lagi sebagai suami istri?"

"Itu Misteri kan, Pak?"

"Ya, tapi bapak sangat berharap bidadari surgaku itu sampean."

Lihatlah sudah setengah abad lebih usia, tapi rayuannya masih melelehkan seperti saat muda dulu.

"Memang sudah pasti masuk surga apa, Pak?" Aku tersenyum sambil melanjutkan mencari gabah atau kutu beras yang terlihat mata tuaku.

"Semua pasti pengen toh, Bu--" Ia sejenak terdiam, menarik napas lalu melanjutkan kembali ucapannya. "Akhir-akhir ini dadaku kok, ya, sesek tiap ngebayangin gak ada kamu. Seperti pohon mangga itu, berdiri sendiri. Biarlah aku duluan, Bu."

Mendung menggelayut di mata yang tak lagi berbinar itu. Kuletakkan tampi, melupakan kegiatan pagi ini. Meremas tangan yang kulitnya tak lagi kencang milik kakek bercucu empat di sampingku.

"Umur itu rahasia Allah, Pak. Siapa pun yang duluan di antara kita harus tetap kuat dan mendoakan." Aku meletakkan tangannya di pahaku, menepuk-nepuknya lembut. "Yang jelas. menjalani kehidupan dan berakhir dalam pelukan suami macem sampean adalah kebahagiaan buat aku."

Kali ini lelaki yang masih mempesona dalam balutan keriput di kulitnya itu tak bisa lagi menahan air mata. Selama pernikahan, hanya dua kali aku melihatnya menangis. Saat ia menyambut kelahiran anak pertama kami, dan hari ini.


CRBN, 05-02-2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar