Senin, 06 April 2020




Penulis : Febi Intan T

RUMAH IMPIANKU


Hampir setengah jam sudah aku meringkuk di sudut kamar, ditemani Air mata yang tak henti membanjiri pipi. Telah kututup rapat pintu serta dua telinga dengan tangan, tapi teriakan-teriakan masih saja jelas terdengar.

Mereka bilang rumahku adalah surgaku. Namun, itu sungguh tak berlaku bagiku. Hawa panas terasa nyata begitu masuk ke dalamnya, percikan sedikit saja langsung menciptakan kobaran yang siap membakar para penghuni. Tak ada sedikit pun ketenangan di sini, kau tak akan pernah menemukannya di rumah ini.

Prank!

Aku menutup daun telinga lebih kuat dari sebelumnya. Kini bukan lagi suara gaduh dari mulut-mulut yang terus saling memaki satu sama lain, tapi benda pecah belah yang terbanting mencium keramik. Entah piring, gelas atau kah cermin.

Beberapa saat setelah itu, terdengar suara bantingan pintu disusul isakan tangis ibu. Seperti biasa. Yah, selalu seperti itu. Ayah akan pergi, dan ibu menangis--meraung layaknya anak kecil.

***

Mata ini perlahan terbuka, terlihat ibu menggenggam tanganku yang telah tertancap jarum inpus. Ia menyeka bulir bening yang menetes di pipinya.

"Kamu gak papa, Nak? Apa yang dirasa?"

Sungguh aku ingin mengatakan pada ibu bahwa aku tak baik-baik saja. Dada ini terasa sangat sesak. Namun, lidah terasa kelu untuk mengatakannya. Apa hal itu yang membuatku berada di sini? Terakhir yang kuingat, aku sedang bersembunyi di kamar ketika mendengar pertengkaran ayah dan ibu. Tak berapa lama, terdengar tangisan yang begitu menyayat dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Saat aku hendak berdiri menghampirinya, tubuhku berguncang hebat lalu semua terasa gelap.

Kepalaku terasa sangat berat, mata ini seolah-olah ingin terpejam lebih lama. Andai saja suara bariton milik ayah tak terdengar saat itu juga, mungkin hati ini berdoa agar lebih baik Tuhan membawaku ke rumah yang baru. Rumah di mana tak ada pertengkaran dan caci maki di dalamnya.

"Dira kenapa, Rat?"

Ibu hanya menangis menjawab pertanyaan lelaki yang baru saja datang. Mataku menangkap sesuatu yang tak pernah dilihat sebelumnya. Ibu menenggelamkan diri dalam dekapan ayah.

"Dira rela sakit lebih lama," lirihku.

Mereka berdua menatapku, lalu keduanya saling beradu pandang. Ada mendung menggelayut di antara keduanya saat bersamaan menggenggam tanganku, erat.

"Maafkan ibu ...."

"Maafkan ayah juga, Nak."

Aku tersenyum lemah melihat mereka saling berangkulan. Sesak di dadaku pun berangsur menghilang. Sungguh aku tak menginginkan apa pun, selain tawa mereka di rumah sederhana yang kami punya.


Crbn, 06022020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar