Rabu, 22 April 2020

Cerpen


Ayahku Lebay



By. Febi Intan T


"Ayaaah!” 

Suara Ibu berteriak, saat sinar matahari baru saja menguapkan embun yang menggelayut manja di ujung dedaunan dan rumput-rumput di halaman. Ayah yang sedang asyik menyeruput secangkir kopi di hari liburnya, terlonjak kaget mendengar suara berintonasi tinggi.  Dengan tergesa, ia segera menghampiri Ibu yang sedang berada di kamar mandi.

"Ada apa, Bu?"

"Ini, loh, Farhan. Dari tadi susah banget diajak mandi. Udah masuk kamar mandi malah gak mau lepas baju," ujar Ibu kesal.

Wajah Farhan menunduk, takut jika Ayah marah.

"Kenapa, Han? Udah mau siang. Gak malu sama matahari yang udah bersinar terang menerangi bumi?" 

"Lebay, deh, Ayah!" kataku, yang sedari tadi memperhatikan mereka dari pintu dapur, menunggu tempe goreng yang siap dibalik.

Ayah menatap ke arahku. Ia lalu memonyongkan bibir, mengirim cium jauhnya. Bahuku bergidik, menutup wajah dengan piring untuk tempat tempe nanti.

“Farhan gak mau mandi, Yah--” ucap Farhan nyaris tak terdengar dengan pandangan mata yang menunduk.

"Loh, loh. Kenapa?"

Ayah lalu masuk ke kamar mandi menggantikan Ibu, sedang Ibu melanjutkan menjemur sebagian pakaian yang telah dicuci subuh tadi.

"Farhan takut. Tadi malam, saat buang air kecil, Farhan liat kecoak di dekat bak mandi, Yah."

"Apa? Kecoak?" Mata ayah sedikit membulat.

"Lebay!”  seruku, sambil mematikan kompor.

"Mbak!"

Ayah memanggilku yang sedang lewat melintas setelah selesai menggoreng tempe.

"Apa, sih, Yah?” sungutku.

"Adik kamu liat kecoak!” kata Ayah.

“Terus kenapa, Yah? Kita ‘kan emang pelihara kecoak, tikus, cecak juga semut,” candaku.

“Ish, Mbak, nih!” Ayah memajukan bibirnya, merajuk.

"Wah, iya. gawat itu! Kecoaknya nanti gigit burung Farhan yang belum sunat," selorohku menakuti Farhan.

Bibir Farhan mulai melengkung ke bawah, siap mengeluarkan suara tangisnya.

"Stop!" kata Ayah, telunjuknya menyentuh bibir Farhan. "Kamu mau kecoaknya pergi dan gak datang lagi, ‘kan?

Farhan manggut-manggut, matanya menatap mata ayah yang sedang memasang mimik serius di hadapannya.

" Ayo, kita cuci baju Farhan! Bajunya dilepas, Nak! Kecoak suka yang kotor dan bau." Ayah mengambil sebuah ember kecil di pojok pintu kamar mandi. "Mbak, ambilin detergen di dekat mesin cuci!"

"Aku pula." Dengan terpaksa aku mengambil sabun untuk cuci baju yang tak begitu jauh dari tempatku berdiri.

"Nih, Yah!" 

Tanganku menyodorkan sebungkus detergen pada lelaki berkulit sawo matang itu. Ayah ternyata sudah berhasil membuat Farhan mau melepas baju.

Aku lalu meninggalkan mereka untuk melihat acara kesukaanku di televisi.

"Ayo, Yah! Bikin balonnya lebih besar!"

Suara Farhan dan Ayah terdengar sampai ruangan di mana aku sedang menonton acara kuis kesukaan. mereka sepertinya sedang bermain gelembung sabun. Acara mandi yang panjang. Yah, begitulah ayah kami, ada saja idenya untuk membuat anak-anaknya beraktivitas dengan cara yang menyenangkan.

“Sekarang Farhan gak usah takut lagi! Kecoaknya gak akan berani datang,” ujar Ayah sambil menghanduki badan kecil Farhan.

“Bener, Yah? Emang kenapa?” ucap Farhan sedikit tak percaya.

“Tadi, kan kita udah bersihin kamar mandinya, baju kotor Farhan juga dicuci, Farhan sendiri udah wangi.” Ditempelkan Idung Ayah pada lengan Farhan, lalu ia sedikit mendengus. “Kecoak gak akan berani kalau kita bersih begini.”

“Mbak, masih bau tuh, Yah. Belum mandi!” 

Farhan mengarahkan jari telunjuknya kepadaku. Sepasang mata itu mendelik, menatap tajam ke arahku yang sedari tadi mendengar perbincangan mereka, disela jeda iklan di televisi. Aku hanya memamerkan senyum malu-malu.

***

"Ayaaah!"

Aku memanggil ayah dari halaman rumah. Sesaat kemudian ayah keluar menghampiri.

"Kenapa, Mbak?"

"Sepedaku, bannya kempes." Bibirku sengaja di monyongkan.

"Oh, sebentar!"

Ayah masuk kembali ke rumah. Tak berapa lama, ia kembali membawa pompa. Lelaki itu mulai memasukkan selang pompa ke pentil sepeda, lalu mulai memompa rodanya yang kempes.

"Nah, udah. Mbak mau sepedaan ke mana?"

"Gak tau, mau main tapi gak ada teman." Sengaja aku memasang wajah memelas di depan Ayah.

"Farhaaan!" Ayah memanggil anak berusia lima tahun itu.

"Apa, sih, Yah? Teriak-teriak," tanya Ibu yang membawa bungkus belanjaan, ia baru saja kembali dari warung dekat rumah.

"Loh, Farhan yang dipanggil, kok, bidadari yang nyaut?"

"Heleh," ucapku dan Ibu bersamaan.

Akhirnya ayah yang masuk mencari Farhan, Lalu keluar kembali dari arah belakang. Ia  mengendarai sepeda berboncengan dengan anak lelakinya itu.

"Ayo, Mbak! Kita jalan-jalan!."

"Mau ke mana, Yah?" tanya ibu

"Muter keliling kompleks aja, Bu. Ibu masak yang enak, ya! Kita gak lama. Ibu jangan rindu! rindu itu berat. Biar Ayah aja!" Ayah mengedipkan sebelah matanya.

"Heleh. Dasar, dilanda kegombalan!" ujar Ibu sambil melangkah pergi, memasuki rumah.

Kami bertiga mengendarai sepeda, mengayuh roda dua melewati beberapa blok di kompleks perumahan. Setelah kaki terasa pegal, kemudian kami berhenti sejenak di taman untuk istirahat. Ayah, aku dan Farhan duduk di bundaran, di mana terdapat pohon yang rindang. Sesekali embusan angin menerpa tubuh, terasa sejuk menyentuh bulir keringat di kulit.

***

Senja menggelincir, langit berubah menjadi gelap. Pintu dan jendela sudah tertutup rapat sejak magrib tadi. Cahaya alam digantikan oleh sinar lampu yang menerangi tiap sudut ruang. 

Di ruang keluarga, Farhan tengah merengek. Ia bersikukuh tak mau tidur di kamarnya sendiri. Adikku meminta tidur dengan Ayah dan Ibu. Ibu sudah berusaha membujuk anak lelakinya itu, tapi tetap tidak berhasil.

"Kenapa? Biasanya Farhan pinter, mau bobo sendiri," ucap Ibu dengan jemari membelai rambut Farhan di pangkuannya.

"Iya. kenapa, Nak?" Ayah pun ikut bertanya.

"Mbak Ratih cerita, katanya ada hantu di kamar." Bibir anak lelaki itu mengerucut.

Sontak dua pasang mata itu mendelik ke arahku yang sedang berpura-pura membaca buku.

"Gak ada! Hantunya lagi sibuk baca buku," sindir Ibu.

"Emmm, gitu ya? Farhan sama Mbak udah salat Isa belum?" tanya Ayah.

Aku dan Farhan menggeleng bersamaan.

"Pantesan. Yang satu takut, yang satu nakutin," ujarnya, "ayo, wudu terus salat Isa! Hantu takut sama orang yang badannya bersih dan sudah salat.”

Aku dan adikku pun segera melaksanakan apa yang ayah perintahkan. Kami bertiga bersiap untuk salat berjamaah.

"Ibu gak salat?" tanya Farhan,  melihat Ibu asyik nonton sinetron kesayangan ‘Handphone yang Tertukar’.

"Ibu datang bulan," jawab Ibu dengan mata yang fokus pada layar televisi.

"Bulan? Farhan juga mau liat!” katanya antusias.

Dahi Ibu mengerut. Bukan karena faktor usia, tapi karena keinginan anak lelakinya.

"Udah buruan salat sana!"

"Ish, jangan gitu dong, Bu, jelasinnya!" tukas Ayah. "Ibu lagi gak salat, lagi keluar darah kotor jadi dilarang salat, Nak."

"Kasihan Ibu.” Raut wajah adikku mendadak sedih. “Kita bawa ke dokter, Yah!" ajak Farhan menarik tangan ayah.

Aku terkekeh melihat celotehan Farhan yang usianya beda sembilan tahun denganku itu.

"Ish, udah ayo salat!" Ayah menggandeng tangan Farhan menuju kamarnya, aku mengikuti langkah mereka.

***

Kami tidur di kasur Farhan yang cukup untuk bertiga. Ayah mengeloni Farhan yang akan tidur, sedang aku berbaring di samping adikku.

“Malam ini mau baca buku cerita apa?” tanya Ayah.

Farhan bangkit, lalu melangkahkan kaki kecilnya. Ia memilih buku yang berjejer rapi di rak.

“Ini aja, Yah!” Dia mengambil dan menunjukkan buku berwarna hijau dengan judul ‘The Giving Tree’.

Buku dengan gambar sebatang pohon dan seorang anak laki-laki. Buku itu bercerita tentang pohon yang selalu memberi tanpa pernah meminta apa pun sebagai balasan kebaikannya.

***

Setelah membacakan buku cerita, Ayah memintaku membimbing Farhan melafalkan surat-surat pendek dan doa mau tidur. 

"Kalau mau tidur Farhan harus baca doa, biar Allah ngelindungin Farhan. Hantu juga takut sama anak yang gak lupa baca doa. Oke?"

"Oke!" sahut Farhan.

“Yuk, baca doa mau tidur!” Tanganku ditengadahkan ke atas, dengan ekor mata yang sengaja melirik Farhan. Setelah aku yakin lelaki kecil itu mengikuti, barulah kami mulai membaca doa.

Tak lama akhirnya Farhan pun tertidur lelap, Ayah juga ikut tertidur di sampingnya.

Aku tersenyum sendiri menatap wajah Ayah yang dihiasi kumis tipis dan sedikit janggut di wajahnya.

Ayah memang sedikit lebay, tapi karena itu ia menjadi ayah yang menyenangkan di seluruh dunia. Aku sayang Ayah.

03 Agustus 2019

Cerita ini aku persembahkan untuk Bapakku yang selalu ada untuk anak-anaknya dan juga untuk Ayah dari anak-anak kami, Azkhansa. Terima kasih sudah menjadi ayah yang sering menghabiskan waktu untuk bermain dengan mereka setelah seharian lelah mencari nafkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar