Senin, 06 April 2020




Bayangan Kesedihan


Gemercik hujan semakin riuh terdengar seiring rinainya yang turun dengan deras. Aku menikmati suasana ini sambil mendengarkan lagu Adult oleh Sondia di bawah anak tangga menuju kelas.⁣
 ⁣
Embusan angin dan musik yang mengalun lewat headphone seolah-olah memindahkan langit mendung ke dalam mataku dan kemudian hujan turun di dasar hatiku. Sungguh ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, tapi diri ini menikmatinya hingga larut dalam kesedihan yang tercipta begitu saja.⁣

Musik itu terus mengalun berlomba dengan bunyi air hujan yang turun.⁣

Satu persatu bayangan kesedihan itu muncul saat aku memejamkan mata, menikmati aroma hujan dan lirik lagu yang kuhafal.⁣

Bayangan sesosok lelaki bergelar ayah yang telah lama tak ditemui, tapi luka yang diberi tetap setia menggores hati.⁣

Tak berapa lama bayangan itu berganti oleh senyuman seorang wanita yang dipanggil ibu dengan kedua tangan merentang saat menyambutnya pulang. Ia lebih merindukan kejadian seperti itu daripada kehadiran ayah. Lebih tepatnya gadis ini membenci ayahnya, kurasa lelaki itulah penyebab sang ibu kini terpaksa harus pulang larut malam. Mungkin menyeleksi siapa yang lebih tepat untuk menggantikan posisi sang  ayah untuk gadis ini, karena hampir tiap hari wanita itu pulang dengan lelaki yang tak sama. Entahlah.⁣

Sesaat aku menghela napas panjang, membuka kedua mata tepat pada dahan yang menari tersentuh rintik hujan.⁣

Aku mematikan musik di gawai, beralih pada fitur perekam suara.⁣

“Ini hampir sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Langit yang mendung dan hujan turun sangat deras. Aku pun duduk di sini, di tempatmu.” Aku menghela napas, memandang lapangan basket yang sepi dalam guyuran air hujan.⁣

“Aku mengerti kenapa lesung pipimu kini jarang terlihat lagi. Kesepian itu sepenuhnya telah membuatmu menjadi gadis dengan wajah muram. Dan itu sangat jelek, kau tahu itu?” Aku tersenyum kecil pada gawai dalam genggaman.⁣

“Bukankah kau tahu? Saat dalam rahim ibu, kita sendirian. Kelak, saat mati pun kita sendiri. Lalu, untuk apa kau larut dalam kesendirian dan kesepian ini. Kau lebih beruntung daripada aku. Setidaknya kau masih bisa bertengkar dengan ibumu, bisa mencari ayahmu lalu memakinya sepuasmu, dan berusaha tersenyum bercanda dengan teman-temanmu. Sedang aku?” Bibir ini tersenyum miris.⁣

“Kuharap setelah mendengar rekaman ini, kau tak lagi duduk melamun sendiri menatap hujan yang turun.” Aku tersenyum kecil seraya menyimpan rekaman suara.⁣

Dingin seketika menyergap saat perlahan aku meninggalkan raga gadis berlesung pipi ini.⁣



 ⁣
Febi intan T, Crbn 06042020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar