Senin, 27 April 2020

Cerbung part 1




Hari Sabtu Bersamamu
By. Febi Intan T


Terlarang


Benda bundar yang menggantung di dinding mengarah pada angka enam, lauk pauk dan nasi hangat telah terhidang di meja makan. Terdengar dari kamar mandi guyuran air yang bersentuhan dengan lantai.

“Pah, mau buat kopi?” kataku setengah berteriak di depan pintu toilet.

“Gak usah!”

Setelah mendengar jawaban dari suami, aku melangkah ke kamar anak sulungku. Membangunkannya untuk segera bersiap berangkat sekolah.

“Danu—“ Kuciumi pipi yang menggemaskan itu. Dia menggeliat dengan mata yang masih terpejam. “Bangun, Sayang! Hayu, sekolah.”

“Emmh, masih ngantuk, Mah,” gumamnya.

“Udah, biarin, Mah. Masih jam enam lebih dikit ini,” Suamiku yang masih mengenakan handuk berhenti sejenak lalu melangkah kembali menuju kamar kami untuk berpakaian.

Aku meninggalkan Danu yang masih memeluk guling kesayangannya. Membuka kran mesin cuci, membiarkannya penuh untuk kemudian menggiling pakaian kotor yang sudah menumpuk di keranjang. Yah, beginilah keseharianku. Bangun paling awal, menyiapkan sarapan lalu membereskan segala hal yang menyangkut pekerjaan rumah.

Lelah? Sedikit, tapi lebih condong dengan kata bosan. Seluruh waktu yang kuhabiskan selama dua puluh empat jam hanyalah bergerumul dengan tiap sudut ruang.

Dulu, aku membunuh kata penat dengan cara merajut. Kadang menyulap gulungan benang itu menjadi taplak meja, syal dan juga sweater untuk si bungsu. Namun, suamiku bilang untuk membeli perlengkapannya itu hal yang hanya membuang-buang uang. “Bukannya lebih baik dipakai untuk membeli kebutuhan anak?” Begitu dia bilang. Sayang yang dikatakannya itu benar. Kenapa hobbyku tak dijadikan ladang untuk mencari penghasilan? Aku belum semahir itu, rajutanku belum layak untuk diperdagangkan.

“Mah!” Danu memanggilku dari ruang tengah. “Mah, mandi!” serunyanya lagi.

“Jangan teriak-teriak, Nak! Nanti Naila bangun.” Aku memutar tombol peras pada mesin cuci lalu meninggalkannya.

Danu mengucek-ngucek matanya yang masih terlihat mengantuk. Aku membuka baju anak berusia empat tahun itu, lalu membawanya ke kamar mandi.

“Mah, aku sarapan duluan, ya!” Mas Tomo melongokkan wajahnya ke arah kamar mandi. Aku yang sedang menyabuni Danu mengiyakan tanpa menoleh padanya.

“Mah, andi!” Naila ternyata sudah bangun, melihat aku memandikan kakaknya, Danu, ia ingin ikut dimandikan juga. Setelah mengeringkan tubuh Danu, aku memintanya untuk menunggu di ruang tipi sementara adiknya dimandikan.

Selesai memandikan dan memakaikan pakaian pada keduanya, aku memutar kembali tombol mesin cuci ke kata “cuci” lalu mengucurkan air ke dalamnya. Sembari menunggunya penuh, aku mengambil sarapan untuk kedua anakku lalu menyuapi mereka. Kulihat di luar sudah tak ada motor Mas Tomo, sepertinya dia sudah berangkat kerja.

***

“Bu, aku titip Naila sebentar, ya. Ada janji sama ibu-ibu TK Danu,” ucapku beralasan pada Ibu. Sengaja aku mampir ke rumah orang tuaku setelah mengantarkan Danu ke sekolahnya.

“Lama, gak?” tanya ibu sambil menciumi pipi gadis kecil yang berusia dua tahun di gendonganku.

“Gak, paling lama dua jamlah. Sekalian bubar sekolah.” Aku menurunkan Naila beserta peralatan untuknya yang kutaruh di sofa.

Setelah mencium tangan yang dipenuhi kerutan akibat usia itu, aku mengendarai motor menuju suatu tempat.

Sudah sebulan ini setiap hari Sabtu aku menemuinya. Bertemu seseorang yang membuat debaran aneh di dadaku kembali terasa, seseorang yang membuatku kembali menyadari bahwa aku seorang wanita yang membutuhkan cinta.

Motor kuparkir tepat di depan sebuah restoran. Hawa sejuk langsung menyapa tatkala pintu kaca terbuka, entah karena pendingin ruangannya ataukah karena senyum seorang pria yang menyambutku dengan tatapan hangatnya.

Sudut bibirku ikut tertarik saat pandangan kami bertemu, kakiku perlahan mendekat lalu duduk di hadapannya. “Udah lama,” tanyaku membuka percakapan.

“Engga, tuh kopinya juga masih penuh.” Manik mata kecokelatan itu melirik pada cangkir yang ada di meja. “Udah sarapan?”

Aku menggeleng. Makanan yang kumasak di rumah memang tidak sempat kusantap, karena harus segera mengantarkan Danu.

“Nasi goreng mau?” tawarnya.

“Ya, boleh. Kamu?”

“Aku nyicip punya kamu aja, deh! Tadi aku udah sarapan soalnya.”

“Oh, oke!”

Dia memanggil pelayan, memesan satu porsi nasi goreng hati ayam juga dengan jus tomat kesukaanku.

Namanya, Rian. Dia memang setahun lebih muda dariku. Duda tanpa anak. Kami bertemu tak sengaja saat aku yang membawa Danu dan Naila tengah kerepotan dengan beberapa plastik hasil berbelanja bulanan. Sigap pria ini menolongku membawa kantung belanjaan. Aku dan dia lalu berkenalan sambil menyantap makan siang tak jauh dari mall tempat kami bertemu. Lalu perkenalan itu berlanjut dengan percakapan ringan lewat jejaring sosial.

Seiring waktu, aku mulai nyaman bersamanya. Perasaan rindu datang di antara kami secara sembunyi-sembunyi, hanya aku dan dia yang mengetahuinya.

Sabtu jadi lebih menyenangkan bersamanya. Kekosongan dan kepenatan seolah luruh saat tangannya menggenggam jemariku di bawah langit yang biru dan hijaunya dedaunan. Walau hanya dua jam.


Cerpen #FB 17 Sept. 2019

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar