Minggu, 03 Mei 2020

Cerbung part 3



Hari Sabtu Bersamamu
By. Febi Intan T


Sesakit inikah Cinta?

Dahiku mengerut membaca pesannya. Keluarga? Untuk apa keluarga Rian menghubungiku? Jangan-jangan ada apa-apa dengannya, tapi tahu dari siapa wanita ini nomor whatsappku. Mungkinkah pria itu menceritakan tentang kami kepada keluarganya? Tiba-tiba saja rasa cemas juga takut menghampiri.

“Mah, kok, ngelamun?” Suara Mas Tomo yang baru selesai mandi mengejutkanku, HP yang ada dalam genggaman hampir terlepas jika aku tak cepat memegang benda itu dengan erat. “Ada pesan dari sapa?”

“Emm, i—ini, ada temen ngajak main,” kataku sedikit tergagap. “Mas, hari ini mau mancing lagi?”

Hari Minggu siang biasanya Mas Tomo akan pergi memancing bersama teman-temannya, pulang sore hari dengan membawa ikan, hasil tangkapan.

“Mungkin.” Lelaki itu mengeringkan rambut pendeknya dengan handuk sambil berlalu.

Aku kembali melihat layar pipih di tangan. Mengetik beberapa kalimat jawaban untuk pesan dari seseorang yang mengaku keluarga Rian. [Gak tau bisa gak, nanti aku hubungin lagi.]

Pikiran menjadi sedikit tak tenang, mengerjakan pekerjaan rumah pun jadi kurang fokus. Sesekali mataku melirik pada benda pipih yang tergeletak di meja dapur.

Apa aku minta tolong adikku saja, ya, si Linda untuk jaga anak-anak nanti? Bagaimana dengan Mas Tomo? Ah, nanti mungkin dia juga akan keluar.

“Mah, abis sarapan, aku mau ke ibu. Siangnya langsung mancing sama teman-teman di sana.” Tangan Mas Tomo menggamit gorengan tempe yang sudah kutiriskan. “Nyusul, ya ke sana! Bantu Ibu beres-beres. Reta paling minggu gini main, kasian ibu.”

Aku mengangguk pelan sambil menata meja makan. Aku tak keberatan tiap minggu ke rumah ibu mertua untuk membantu beliau, tapi sedikit kesal dengan tingkah adik ipar yang sudah remaja tak juga mengerti dengan pekerjaan rumah.

***

Kendaraan bermotor berlalu lalang di bawah sana, aku sudah menunggu kedatangan wanita yang mengaku keluarga Rian di sebuah resto. Embusan angin sesekali menerpa rambut sebahu yang kugerai, sejuk terasa di atas sini.

“Halo, Mbak—“

Aku menoleh sosok wanita bersuara lembut yang sudah ada di sampingku. Sesaat terpana dengan senyum ramah juga kecantikan berbalut jilbab panjang yang dikenakannya.

Dia menyalamiku, lalu duduk dengan anggun di sebuah kursi yang ada di depanku. “Maaf mengganggu, ya, Mbak,” katanya sambil tersenyum tipis.

Aku menggeleng lemah. “Emmm, maaf, Mbak ini siapanya Rian?” Aku tak mampu lagi menutupi rasa penasaran yang memenuhi otak.

“Saya Risti, Mbak. Istri Rian.” Wajahnya begitu tenang, tak ada riak apa pun yang bisa kutangkap di sana.

Ada getar yang menjalar dalam dada, membuat tubuhku menjadi panas-dingin dibuatnya. Kenapa Rian berbohong? Jari-jemari meremas ujung kemeja yang kupakai.

“Maaf,” bisikku menunduk. Wanita ini pastilah menyimpan amarah kepadaku, bagaimana tidak? Dia kini berhadapan dengan wanita yang suka jalan berdua bersama laki-laki yang masih suaminya.

“Ya, saya tau Rian setiap Sabtu suka bertemu dengan, Mbak.” Ada getar dalam kata-katanya yang coba ia sembunyikan. “Saya gak pengen nyalahin Mbak atau Rian, walaupun perbuatan kalian memang salah.” Dia terdiam, seperti sedang mengendalikan sesuatu di hatinya.

Aku tak mampu menatap mata wanita di hadapanku, takut bercampur malu. Tenggorokanku rasanya tercekat, dada terasa sesak.

“Ini bukan pertama kali Rian lakukan,” gumamnya tertunduk.

Mataku membulat mendengar penuturannya. Aneh bagiku, pria lembut dan perhatian seperti Rian punya sifat seperti itu. Ah, lalu bagaimana denganku, tak ada yang beda bukan?

“Setahun yang lalu—“ Terdengar darinya menelan saliva dengan berat, lalu menghela napas panjang. “Setahun yang lalu dokter memvonis dia gak akan bisa punya anak.”

Aku tercengang mendengarnya, napasku seakan ingin berhenti. Lalu apa alasannya sampai berani menduakan wanita yang menurutku penyabar ini.

“Ini, salahku—“ Matanya tiba-tiba meneteskan bulir bening yang cepat-cepat dihapusnya. “Mendengar berita seperti itu, aku merasa sedih dan lebih banyak berdiam diri di kamar.”

“Padahal Rianlah yang paling menderita di sini. Harusnya aku ada untuk menghiburnya, tapi aku seolah menjadi orang yang paling menderita.” Bahunya kini terguncang, tak bisa lagi ia menahan isak.

Aku menggenggam tangan halus wanita di hadapanku, ingin memberinya kekuatan. Namun, pantaskah aku?

“Aku tau, dia melakukan ini hanya karena ingin aku meminta cerai darinya. Aku tau betul sifatnya.”

Kali ini dia menatap mataku, sendu. Membalas genggaman tanganku, meremasnya kuat. “Aku mohon, maafkan Rian. Lepaskan dia, Mbak. Izinkan aku memperbaiki hubungan kami.”

Tidak ini salah, harusnya aku yang memohon maaf padanya. Ah, dia sungguh membuatku merasa semakin rendah dan tak berharga.

“Akulah yang salah, sekali lagi maafkan aku,” wajahku menunduk, sesekali mengerjapkan mata agar tak ada bulir bening yang meluncur dari sudutnya.

“Terima kasih, Mbak. Aku doakan semoga Mbak menemukan jodoh yang baik.” Ia tersenyum sebelum akhirnya berpamitan dan meninggalkan aku dengan air mata yang mengalir deras. Menemukan jodoh yang baik? Ah, sungguh kata-katanya membuatku merasa seperti seonggok sampah.

Terdengar langkah kaki mendekat menghampiri, cepat-cepat kuhapus air mata ini. Sesosok pria menyandarkan tubuhnya pada teralis balkon.

Rian? Bagaimana bisa dia di sini? Ia kemudian menyalakan sebatang rokok dan membiarkan asapnya mengepul menari-nari di udara kemudian menghilang begitu saja.

“Maaf,” lirihnya tanpa menoleh.

Haruskah aku marah pada pria ini, bila pada kenyataannya aku juga bersalah.

Hening

Dia masih mengisap rokok di tangannya dan kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Dia wanita yang baik, istri yang baik," ujarku pada akhirnya.

"Ya, dan dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku." Dia tersenyum menoleh ke arahku. Aku tahu ada sakit yang ia coba sembunyikan. "Aku sungguh senang bisa kenal dengan wanita sepertimu."

Aku tersenyum sinis. "Sampah sepertiku memang gak layak untuk dicintai."

"Kamu wanita yang baik, hanya butuh perhatian dan teman bicara."

"Sudahlah! Kita akhiri sampai di sini." Aku beranjak pergi meninggalkannya, meninggalkan cinta yang salah. Seharusnya aku mampu mengendalikan perasaanku hingga tak jadi seperti ini.

~~~~ Bersambung ~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar